05 January 2016

Bencana Alam : Banjir dulu dan sekarang

Sudah menjadi hal lumrah bila setiap tahun di Indonesia ketika musim hujan datang, bencana alam pun datang menyertainya. Banjir salah satu bencana alam yang sudah mejadi ciri khas bagi beberapa daerah di Indonesia. Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan tingginya intensitas hujan. Itulah mengapa apabila musim penghujan tiba, beberapa tempat penampungan air seperti waduk dan sungai akan mengalami peningkatan debit air dan kelebihan muatan. Apabila hal itu terjadi maka air akan meluap sehingga terjadilah banjir.

Bukan hanya di Indonesia, banjirpun menjadi masalah banyak negara seperti China dan India. Persamaan di antara negara-negara langganan banjir ini umumnya dikarenakan banyaknya penduduk, rendahnya kesadaran masyarakat dalam hal pembuangan sampah dan buruknya sistem drainase. Beberapa langkah telah diambil pemerintah setempat untuk meminimalisir efek bencana ini seperti peningkatan kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, pengerukan sungai, pembuatan muara atau danau buatan, penertiban pemukiman warga di daerah rawan banjir, hingga bersama membersihkan saluran air di lingkungan setempat. Namun dibutuhkan kerjasama dari kedua belah pihak baik masyrakat dan pemerintah untuk menanggulangi masalah yang sudah berlangsung sejak lama ini.

Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebagai negara yang paling rawan dan paling sering dilanda bencana banjir, setelah India dan China. Hal tersebut dikemukakan peneliti Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM, Dr. Muh. Aris Marfai, M.Sc., Selasa (29/12), dalam Seminar Hasil Kegiatan Pengurangan Risiko Bencana. Seminar yang merupakan hasil kerja sama PSBA UGM dan Departemen Sosial (Depsos) RI berlangsung di Hotel Brongto, Yogyakarta.

Menurut Marfai, banjir di India dan China disebabkan meluapnya air dari sungai dan laut, sedangkan di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh air sungai. Kendati demikian, ia memprediksikan banjir dari meluapnya air laut akan melanda Indonesia di masa mendatang seiring dengan adanya perubahan iklim global. “Banjir laut sekarang sudah mulai melanda Semarang dan Jakarta,” ujarnya.

Sering munculnya bencana banjir di Indonesia disebabkan beberapa faktor, antara lain, kondisi curah hujan tinggi dan sebagian tanah tidak lagi mampu menyerap air dengan baik serta perubahan penggunaan tanah. Untuk mengurangi risiko bencana, banyak hal yang dapat dilakukan, yakni dengan persiapan mitigasi bencana, pengelolaan organisasi, dan menjaga daerah hulu sebagai kawasan resapan air.

BANJIR JAKARTA

BANJIR yang melanda Jabodetabek (Jakarta, Bogor,Tangerang, dan Bekasi) di awal Februari 2007 mengingatkan kita pada banjir besar Februari 2002 yang nyaris menenggelamkan Kota Jakarta.

Saat itu,lebih dari separuh Kota Jakarta tenggelam. Ribuan penduduk mengungsi dan pemerintah DKI Jakarta mendapat ”semprotan” masyarakat karena tak mampu mengantisipasi datangnya banjir tersebut. Ternyata, lima tahun kemudian fenomena yang sama terulang kembali–– bahkan lebih dahsyat.Jumat,Sabtu,dan Minggu di awal Februari ini, Jakarta nyaris tenggelam.

Lebih dari sepertiga kota Jakarta terendam air.Kondisi banjir Februari 2007 lebih parah ketimbang Februari 2005.Daerah langganan banjir seperti Kampung Melayu, Kalibata, Setiabudi,Tambora, dan lain-lain makin dalam terendam. Bahkan, banjir 2007 makin luas lagi. Kota satelit Kelapa Gading, misalnya, yang di tahun 2002 hanya terendam beberapa sentimeter, kini nyaris tenggelam. Kelapa Gading nyaris jadi lautan.

Hal serupa terjadi di Tangerang, Bekasi, Depok, bahkan Bogor. Di Tangerang, Bekasi, dan Depok banyak perumahan elite yang berharga miliaran rupiah (yang promosinya tentu saja bebas banjir), juga tenggelam. Bahkan di Kab Bogor sekali pun––wilayah yang menjadi penyebab utama banjir Jakarta––sebagian tenggelam.Terutama di wilayah-wilayah sempadan Sungai Ciliwung dan sungai kecil lain yang mengalir ke Jakarta. Walhasil,banjir benar-benar hampir merata di wilayah Jabodetabek.

Mungkinkah Diatasi?

Sebetulnya fenomena banjir sudah ada di Jakarta sejak kota pantai di barat Pulau Jawa ini dijadikan ibu kota negara. Bahkan, menurut catatan Alwi Shahab penulis sejarah Jakarta banjir sudah ada sejak zaman Belanda.Namun, pemerintah Belanda yang sudah berpengalaman ”membangun dan memelihara” kota yang terletak di bawah laut dan rawan banjir, mampu mengantisipasi datangnya banjir di Jakarta.

Kota Amsterdam, ibu kota Negeri Belanda, misalnya, terletak di bawah permukaan laut.Negeri Belanda membangun bendungan dan kanal-kanal sedemikian rupa sehingga kota tersebut terhindar banjir. Konsep pembangunan Kota Amsterdam itulah yang kemudian diterapkan dalam membangun Jakarta. Untuk menghindari banjir, Belanda membangun kanal-kanal,pintu-pintu air,dan memecah Kali Ciliwung kali terbesar yang mengalir ke dalam Kota Jakarta menjadi beberapa sungai kecil.

Belanda juga memelihara ribuan situ atau danau kecil yang ada di Jakarta dan sekitarnya untuk menampung aliran air dari ”atas” yaitu wilayah Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopuncur). Begitu juga di pantai: Pemerintah Hindia Belanda sengaja melestarikan hutan mangrove di pantai Jakarta untuk mengantisipasi pasang laut Jakarta dan abrasi. Ribuan hektare hutan mangrove di pantai Jakarta sengaja dipelihara Belanda untuk mengantisipasi datangnya banjir dan badai laut, termasuk tsunami. Sejarah ”antisipasi banjir” kota Jakarta, khususnya kanal-kanal dan pintu air masih bisa kita lihat sampai sekarang seperti di Manggarai, Bogor, dan Depok.

Sedangkan situs sejarah hutan mangrove dan danau-danau buatan kini nyaris tidak ada lagi. Hutan mangrove yang ratusan ribu hektare di zaman Belanda kini tinggal 25 hektare di Kota Jakarta,yaitu di Muara Angke itu pun kondisinya sudah rusak berat. Sementara dari ribuan situ yang ada di Jabodetabek, kini tinggal beberapa puluh yang asri.

Seorang teman sambil berseloroh menyatakan, seandainya Belanda lama menduduki Jakarta, niscaya banjir tersebut bisa diatasi. Setelah Indonesia merdeka dan beribu kota di Jakarta, banjir justru makin sering dan tak bisa dikendalikan. Empat puluh dua tahun lalu, Gubernur Ali Sadikin pernah menyatakan bahwa untuk membebaskan wilayah Jakarta dari banjir butuh dana Rp450 miliar.

Bila dikonversi dengan nilai dolar AS saat itu (asumsi sekitar Rp100 per dolar), dana untuk mengatasi banjir tersebut sekitar 4,5 miliar dolar atau sekitar Rp40 triliun. Ya, dana sebesar itu, akan dipakai di samping untuk memelihara kanal-kanal dan pintupintu air yang ada juga untuk membuat kanal-kanal baru, pintu-pintu air baru, danau-danau buatan baru, perluasan hutan mangrove, perluasan hutan kota, dan lain-lain.

Jika di zaman Ali Sadikin yang saat itu penduduk Jakarta masih berkisar dua jutaan, untuk membebaskan banjir dibutuhkan dana Rp45 miliar, setara Rp40 triliun, apalagi sekarang. Saat ini,misalnya,ratusan situ telah berubah jadi perumahan dan pertokoan. Mau dibebaskan? Butuh dana puluhan triliun rupiah.

Di bibir pantai, kini ada Taman Impian Jaya Ancol, hotel-hotel bintang empat, perumahan mewah,mau dibebaskan? Butuh puluhan triliun.Walhasil, jika Pemda DKI mau membebaskan Jakarta dari banjir akibat kurangnya antisipasi di masa lalu niscaya butuh dana ratusan triliun rupiah. Dana sebesar itu nyaris tak mungkin dipenuhi Pemda DKI. Karena itu, pusat tidak boleh tinggal diam. Artinya, permasalahan Jakarta dan banjirnya itu jangan sampai dibebankan Pemda DKI semata.

Pusat pun harus ikut campur tangan. Bukankah Jakarta adalah simbol Indonesia? Lantas, apa yang harus diperbuat Pemda DKI dan Pusat untuk mengatasi banjir yang telanjur telah menjadi permasalahan yang kompleks ini? Haruskah pemerintah membuat UU dan Perda baru? Sebetulnya, kalau kita mau membaca dan mengutak-atik Perda di Pemda DKI Jakarta, sudah cukup banyak metode solusi banjir.Pertama,misalnya, kewajiban setiap bangunan di Jakarta untuk membuat sumur resapan (Peraturan Gubernur DKI No 68/2005).

Adanya sumur resapan di setiap unit bangunan di Jakarta, niscaya cukup lumayan untuk meredam tumpahan air dari rumahrumah atau gedung-gedung bersangkutan agar tidak mengalir secara liar sehingga menyebabkan banjir. Kedua, pemulihan situ-situ yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Bila perlu, situ-situ yang diuruk developer,harus dikembalikan ke bentuk dan fungsinya semula. Ketiga, pembangunan danau-danau buatan baru di dalam maupun luar kota Jakarta, khususnya di Depok dan Bogor. Ini penting untuk menampung limpahan air hujan dari ”atas”agar tidak mengalir langsung ke Jakarta.

Keempat, memperbanyak kanal kanal baik di dalam kota maupun di pinggiran kota, termasuk di Depok dan Bogor. Kanal-kanal di luar kota dibuat untuk mengendalikan limpahan air dari Bopuncur dan sekitarnya.Kelima,memperbanyak pintu-pintu air,baik di dalam maupun di luar Jakarta.Tujuannya juga untuk mengendalikan air yang mengalir di kanal-kanal tersebut.

Keenam, memperluas hutan kota untuk memperbanyak daerah resapan dan konservasi air. Dan ketujuh, memperluas hutan mangrove di pantai utara Jakarta.Yang terakhir ini terutama untuk mengantisipasi banjir pasang laut, abrasi, badai, tsunami, dan lain-lain. Ketujuh, mereboisasi hutan-hutan yang gundul di wilayah Bopuncur.

Memang mahal dan kompleks. Karena itu butuh keseriusan, ketegasan, dan visi pemerintah, baik Pusat maupun DKI untuk membangun Jakarta agar bebas banjir. Di samping itu, perlu dukungan politik dan finansial yang kuat agar permasalahan tersebut tidak berputar- putar seperti pembangunan BKT yang tak kunjung usai. (*)

sumber : http://www.seputar-indonesia.com/

0 comments:

Post a Comment