- Sejarah Kebudayaan Indonesia
(1) perbedaan intensitas budaya asing yang masuk ke masing-masing daerah.
(2) perbedaan periode (lama waktu) intervensi budaya luar terhadap budaya lokal daerah.
Dua faktor utama tersebut berperan dalam membentuk budaya Indonesia saat ini. Dalam perkembangannya, ada unsur yang melatari perkembangan unsur lainnya, yaitu unsur Religi. Unsur tersebut melahirkan pandangan hidup. Buku SKI jilid I ini membahas mengenai religi dan falsafah yang berkembang di Indonesia. Pembahasan tersebut dikemas secara ringkas sehingga dapat diapresiasi oleh pembaca.
Religi selalu hadir dalam bentuk apa pun di setiap kebudayaan etnik di dunia. Tak terkecuali etnik di Nusantara. Bentuk Religi dalam wujudnya yang paling pertama adalah menghormati kekuatan yang mengisi ruang alam. Kekuatan tersebut mencakup kekuatan negatif maupun positif. Tak bisa disangkal bahwa kedua kekuatan tersebut hadir dalam kehidupan manusia. Kekuatan tidak berbentuk dan dapat menghuni berbagai ruang seperti bebatuan, sungai, pepohonan atau lembah.
Saat peradaban mulai berkembang, religi menyesuaikan bentuknya dengan pemikiran manusia. Ketua kelompok dipilih oleh anggotanya berdasarkan konsep Primus Interpares (yaitu orang yang paling unggul di antara para unggulan). Selama menjadi pemimpin, ketua kelompok diharuskan sanggup menyelenggarakan pesta jasa (fiest of merit) pada seluruh anggotanya. Pesta tersebut bisa berupa pendirian monumen untuk mengenangnya. Monumen tersebut biasanya berbentuk punden berundak, dengan menhir yang menjulang tegak di atasnya. Jika meninggal, roh ketua kelompok akan mendiami puncak-puncak gunung bersama roh leluhur. Roh ketua kelompok dapat dipanggil sewaktu-waktu rakyatnya memerlukan pertolongan dengan memasuki menhir yang menjadi simbolitas. Dengan demikian lahirlah Religi Pemujaan terhadap Arwah Leluhur (ancestor worship) di Nusantara.
Demikianlah ketika agama besar dunia hadir ke kehidupan penduduk di kepulauan Nusantara pada awal tarikh Masehi. Dalam bidang religi, nenek moyang kita sudah mempunyai dasar yang baik, yaitu sudah bisa mengidentifikasikan kekuatan supranatural. Mereka sudah mampu mengatur warganya sesuai dengan pandangan hidup terhadap kekuatan supranatural. Mereka juga mampu menciptakan kesenian yang didedikasikan untuk kekuatan supranatural, dan masih banyak lagi bentuk apresiasi lainnya untuk alam supranatural. Agama Hindu dan Buddha yang diterima secara luas di Jawa, Sumatera, Bali, dan sedikit di Kalimantan sebenarnya merupakan pembungkus dari ritual pemujaan terhadap arwah leluhur. Agama Islam, Kristen, Katholik yang datang menyusul mendapatkan sambutan yang baik dan berkembang dengan subur di beberapa wilayah berbeda Nusantara. Perbedaan pendalaman agama-agama besar itu terjadi karena akulturasi dengan lapisan kebudayaan yang sudah mengendap sebelumnya. Hingga dewasa ini kehidupan religi di Indonesia berjalan dengan baik, rasa toleransi, dan melanjutkan tradisi tetap hidup, di antara etnik-etnik besar atau pun kecil.
- Kebudayaan Hindu, Budha, dan Islam di Indonesia
Pada masa kekuasaan Hindu-Budha, masyarakat bisa mengangkat negeri ini hingga mencapai kejayaan. Masyarakat saat ini masih merasa ikut memiliki peninggalan peradaban tersebut, misalnya peninggalan kerajaan Sriwijaya atau Mataram Kuno. Peninggalan tersebut rupanya bisa dimanfaatkan menjadi sumber penghidupan masyarakat saat ini. Wisatawan berdatangan untuk melihat peninggalan sejarah yang dijadikan sebagai objek wisata, mengagumi kejayaan masa lalu. Hal itu membuktikan bahwa sistem sosial masyarakat di masa lalu tidaklah buruk, bahkan mereka mampu membangun karya monumental yang membanggakan.
Masa kejayaan Islam merupakan kebanggaan bagi sebagian masyarakat. Hal itu ditimbulkan dari anggapan bahwa keberhasilan penyebar agama Islam mampu menanamkan kekuasaan di Nusantara. Masyarakat yang tadinya tidak beragama / kafir, bisa diubah menjadi masyarakat yang bermartabat dan agamis. Agama Islam menjadi rujukan pembuatan tata nilai atau seluruh tindakan sosial di Nusantara.
Beberapa kesultanan didirikan oleh bangsa Arab atau setidaknya mengadopsi nama-nama Arab yang menandakan mereka adalah Islam. Istilah “sulthan” menjadi sebutan bagi penguasa di berbagai kerajaan kecil yang mampu bertahan. Pertikaian antarkelompok mewarnai kerajaan-kerajaan Islam. Di Aceh, pengikut Hamzah Fansyuri diburu dan seluruh buku karangan Hamzah Fansyuri pun dibakar. Pengikut Ar Raniri, orang Arab dari Kerala, membantu mempertahankan kelangsungan Islam di Aceh.
Penyebar Islam di Jawa kebanyakan merujuk pada satu dewan wali yang dikenal dengan Walisongo. Beberapa anggotanya seperti Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, kyai Pandan Aran masih menjadi tokoh yang sangat dikagumi hingga masa kini. Di Sulawesi ada kesan khusus pada satu tokoh Islam karena dianggap sebagai simbol perlawanan pada kaum kafir, orang Belanda, yaitu Syeh Yusuf yang diasingkan ke Afrika Selatan.
Masyarakat Islam Indonesia pada masa kini belum berhasil menghasilkan sesuatu yang bermakna. Mungkin satu-satunya peninggalan kerajaan Islam yang tersisa adalah “Serat Centhini di Jawa”, yang berupa sebuah ensiklopedi yang cukup tebal. Serat itu mungkin hanya tertandingi oleh “La Galigo” dari Sulawesi Selatan yang mungkin dibuat pada masa Kerajaan Sawungaling. Masyarakat saat ini tidak mampu bersatu untuk menciptakan karya-karya monumental seperti masa dahulu.
Masa pendudukan Belanda di Indonesia merupakan masa-masa paling gelap. Bangsa Indonesia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk berkembang sebagai suatu bangsa yang mandiri. Kita hanya bisa mengagumi bagaimana bangsa Jepang mampu bertahan dan melakukan restorasi Meiji yang terkenal sehingga menyejajarkan kedudukan Jepang dengan bangsa-bangsa Barat.
Selanjutnya, orang-orang yang digolongkan ke kelompok ‘abangan’ ini mampu melahirkan ide-ide cemerlang untuk bangsa. Kita semua mengenal nama-nama seperti Tan Malaka, Douwes Dekker, atau bahkan Bung Karno. Tokoh-tokoh tersebut telah merintis jalur ke arah kemerdekaan dan memungkinkan pembebasan bangsa ini dari segala bentuk penjajahan baik fisik, ekonomi, dan mental spiritual.
Sejak 1945, setelah Jepang menyerah pada sekutu, bangsa Indonesia merasa bebas dan bersatu mendirikan negara Indonesia. Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila menjadi landasan falsafah bangsa.
- Kebudayaan Barat
Proses akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional yang kita gagas? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Frans Magnis Suseno dalam bukunya ”Filsafat Kebudayan Politik”, membedakan tiga macam Kebudayaan Barat Modern.
Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).


0 comments:
Post a Comment